Rinai
Bagaimanakah
jika mama bukan seperti bidadari cantik dalam mimpiku?
Bagaimanakah
jika mama bukan wanita suci dalam kisah-kisah itu?
Bagaimanakah
jika mama bukan siti khodijah itu?
Apakah
surga
masih berada ditelapak kakinya?
Rinai,
gadis mungil nan cantik itu tengah duduk termenung di teras depan rumahnya,
sesekali ia melitir ujung rambut kanannya yang terkuncir dua. Kedua matanya
melirik ke lengan kirinya, sudah jam 5 sore tapi sejak ia sepulang sekolah tadi
mamanya belum juga pulang. Mama lupa, dan itu sudah yang ke tiga kalinya. Rinai
kembali melintir ujung rambutnya, mendesah.
Rinai, sebenarnya dia gadis yang periang, suka bercanda dan sedikit
usil. Namun, sejak kejadian 1 bulan lalu dia berubah menjadi gadis pendiam,
suka menyendiri dan sering menangis diam-diam.
“Allahu akbar allahu
akbar…. Allahu akbar allahu akbar…”
Sudah
jam setengah 6, adzan dari musholah sudah terdengar. Rinai berdiri, menatap
jalan raya, berharap mamanya datang dengan senyum mengembang, mengatakan maaf
terlambat karena kerjaan yang tak bisa ditinggalkan, maka dengan mudah Rinai
akan memaafkan. Rinai beranjak, mama mungkin akan pulang larut malam sama
seperti hari-hari kemarin, pikirnya.
“Rinai….”
Langkah
kakinya terhenti, senyumnya mengembang.
“Mama…”
Rinai berbalik, hampir berlari ingin menyambut. Namun senyum itu seketika
terlepas, berubah. Kecewa.
Ah,
bagaimana Rinai bisa tak mengenali suara itu. Suara renta nan serak itu jelas
bukan suara mamanya yang sudah pasti merdu nan lembut.
“Ada
apa mbok Darmi?” Rinai bertanya sedikit kesal. Cemberut.
“Ini,
ada orang yang cari Rinai.” Senyumnya ramah. Melirik kearah sosok laki-laki
tinggi putih di sampingnya.
Rinai
mengerutkan kening. Siapa?
“Halo
Rinai..” Sapanya sambil melambaikan tangan ramah.
“Om
siapa? Teman kerja mama? Rinai kok nggak pernah liat om kesini? Atau om bosnya
mama? Ah bukan, bosnya mama kemarin baru aja kesini nganter mama pulang. Om
pasti teman kerja mama ya? Mama kan teman kerjanya banyak, baik-baik lagi
soalnya mama kan juga orangnya baik. Om…. Siapa?” Rinai berhenti berceloteh.
Menatap laki-laki itu dengan seksama. Laki-laki itu tersenyum,
mengangguk-angguk.
“Rinai
cantik ya? Kelas berapa?” Laki-laki itu jongkok di depan Rinai. Mengusap lembut
rambutnya yang terkuncir panjang.
“Om
beneran teman mamakan?” Rinai melangkah mundur, menepis tangan laki-laki itu.
Laki-laki
itu mengangguk. “ panggil om, om Ardi.” Laki-laki itu merengkuh tubuh Rinai.
Erat. Ada suara desahan yang tak di mengerti.
****
1 bulan kemudian…..
“Rinai benci om Ardi…” Jemarinya
mengepal, Rinai terisak. Menangis tersedu memeluk lutut.
Masih terlalu pagi untuk pertengkaran
kecil ini. Dan masih terlalu dini untuk Ardi menjelaskan semua permintaan
Rinai. Ardi yang saat itu baru saja selesai mandi bersiap untuk menjemput Raya,
mau tak mau dia harus pulang. Ardi sudah tak peduli dengan semua alasannya
hingga rela merendahkan dirinya kelubang menjijikkan itu. Gadis mungil itu
sudah sering menanyakan keberadaan mamanya. Ya, satu bulan ini Raya tak pulang
sejak Rinai menunggunya dengan cemas di depan rumah. Dan pagi ini, Rinai pulang
menangis tanpa henti, sepanjang berangkat sekolah semua teman-teman
mengejeknya, mengatakan hal-hal buruk tentang mamanya, mengatakan hal-hal
mengerikan yang tak dimengertinya.
“Apa
itu PSK om? Apa itu pelacur? Dan… dan apa itu wanita panggilan?? Mama jelas
bukan wanita murahankan? “ Rinai makin terisak, mendongak menatap Ardi yang
ikut duduk di sebelahnya. Menggenggam jemari mungil Rinai.
“Dari
siapa kamu dengar kata-kata itu sayang?”
“Kenapa
mama nggak pulang-pulang om? Apa pekerjaan mama om…?” ribuan butiran bening itu saling berdesakan
keluar, mengalir membanjiri pipi-pipi putih Rinai.
“Mama bekerja untuk Rinai, untuk masa
depan Rinai. Mama bekerja untuk kebahagiaan Rinai.”
“Bohong. Om Ardi bohong kan? Mama orang
jahat bukan? Kata mamanya Vino, mama suka ngambil papa orang. Apa mama juga
yang bikin mamanya Vino cerai sama papanya Vino?”
Ardi tercengang. Bagaimana bisa gadis kecil ini tau semua kata-kata menyakitkan itu?
Bagaimana bisa mereka tega mengatakan hal mengerikan itu? Urusan ini harus
segera selesai secepatnya. Ardi mendesah.
“Rinai, dengerin om… ma-“
Kalimat itu terputus. Rinai beranjak dan
berlari keluar rumah. Mengusap mata sembabnya dan melepas tas sekolah yang
sedari tadi masih cantik bertengger di punggungnya. Ardi bingung, gelagapan.
Tubuhnya oleng karena posisi yang tak seimbang, hampir terjatuh saat ingin
mengejar Rinai yang kini sudah lari jauh menyeberangi jalan raya.
“Rinai… tunggu…” Ardi berlari sekuat
tenaga. Tidak boleh, semua ini tidak boleh terjadi. Gadis mungil itu terlalu
dini untuk tau semuanya, terlalu dini untuk mengerti semuanya. Ardi berhenti di
pertigaan jalan. Jejak Rinai telah hilang.
Rinai belok ke kiri jalan. Tadi mama
Vino dengan mata mendelik menatap Rinai, mencengkeram kedua bahunya, kalimatnya
tajam, tak terlalu banyak Rinai mengerti artinya. Rinai terus berlari sambil menatap
lalu lalang kendaraan, sesekali bertanya pada orang sekitar, menanyakan alamat
yang membuat orang-orang mengerutkan dahi.
“Wanita
simpanan. Wanita murahan. Mama kamu perusak rumah tangga orang. Wanita jalang.
Kau tau, semua orang disini sudah tau pekerjaan siang malam yang dilakoni
mamamu. Raya si wanita panggilan, PSK kelas kakap”
Sudah
hampir Rinai menangis,air matanya sudah penuh menutupi matanya, bukan karena ia
benar-benar mengerti kalimat panjang itu. tapi yang pasti mamanya adalah orang
yang dibenci mama Vino.
“Ti-Tidak,
tan-tante bohong.. mama orang baik, mama bukan murahan. Tante jahat.” Terbata.
Rinai gemetar, takut menatap tatapan tajam mamanya Vino. Sakit, cengkeraman itu
terasa panas menjalari tubuhnya. Rinai menoleh ke gerbang sekolah, semua orang
kini tengah menatapnya, pintu gerbang terbuka lebar, kosong, sepi, tak ada yang
berniat masuk, apa lagi terburu-buru masuk meski jam besar dinding di atas
gerbang telah menunjukkan pukul 07.55
menit. Semua mata tengah asyik menonton adegan seru tepat di samping gerbang
sekolah. Satu mulut berbisik membisikkan ke mulut yang lain, dan mulut yang
lain buru-buru membisikkan ke mulut yang lainnya lagi, begitu seterusnya hingga
suara bisik bisik itu berubah menjadi suara gumaman yang sungguh menyakitkan
telinga Rinai. Gadis kecil 9 tahun itu menangis tersedu, takut-takut menatap
semua orang yang tengah sinis menatapnya.
“Jadi
cerita kalau Rinai ini anak haram itu benar?” Rinai menoleh, suara mama Fitri
teman sebangkunya terdengar lantang. Air mata Rinai menetes, menatap Fitri yang
tengah menatapnya sedih, menatap mamanya tak mengerti.
“Dan
kamu Rinai, kami semua tak sudi melihat kamu sekolah disini. Ikut saja kamu
bersama mamamu yang jalang dan murahan. Anak haram, kau pasti tak taukan siapa
papamu? Atau jangan-jangan laki-laki yang kini ada di rumahmu itu simpanan baru
mamamu?”
Rinai makin mempercepat langkah kakinya,
berlari sekuat tenaga. Bayang-bayang wajah mama-mama teman-temannya yang
menatapnya tajam, sinis, marah, meneriakinya, semua itu melayang begitu cepat
dipikirannya.
“Tidak, mama Rinai bukan wanita murahan.
Mama Rinai wanita baik, mama Rinai mama terbaik sedunia. Mereka semua bohong.
Mama Rinai bekerja untuk Rinai, mama Rinai bekerja di gedung-gedung tinggi.”
BRUKK.
Rinai jatuh tersungkur, matanya
berkunang-kunang, dan tiba-tiba semuanya gelap.
****
Rinai membuka matanya, ada om Ardi yang
tersenyum ramah di sebelah kirinya, dan di sebelah kanan ada wanita cantik
tengah menangis terisak. Menggenggam jemari Rinai dengan erat. Itu mama.
“Sayang, Rinai udah bangun? Kita ada di
rumah sakit, jangan takut sayang…” Mama berdiri, mengusap lembut kening Rinai.
Dan seketika dengan lemah Rinai menepisnya.
“Rinai nggak punya mama yang jahat,
Rinai nggak punya mama pembohong, Rinai benci mama.” Mata Rinai terpejam, dan
butiran bening itu mengalir dari sudut-sudut matanya.
“Sa-“
“Rinai benci…..”
“Ri-“
“PERGI. Rinai tau semuanya ma.. Rinai
tau kenapa mama nggak pernah pulang, Rinai tau kenapa setiap hari om-om itu
nganter mama pulang, dan Rinai tau kenapa papa Vino cerai. Rinai tau, RINAI TAU…”
terbata, tersenggal dia merangkai kalimat-kalimat itu. Rinai menangis, menutup
kepalanya dengan bantal. Mama terisak, menjerit,terduduk jatuh lemas di lantai.
“Rinai, jangan dengarkan omongan
orang-orang, mereka semua bohong. Mama sayang sama Rinai.” Ardi berbisik,
membuka bantal yang menutupi wajah Rinai.
“Om bohong. Rinai benci…” Rinai bangun,
menarik paksa jarum infus yang menempel di tangannya.
“Jangan Rinai, kamu masih sakit sayang..
maafkan mama…” Mama mencegah, menghentikan aksi nekat Rinai.
“Rinai benci, Rinai nggak mau punya mama
kayak mama. Mama jahat.” Rinai kuat memukul-mukul tubuh sang mama, menepis
kedua tangannya yang ingin merangkul. Ardi yang menatap kejadian memilukan itu
tak kuasa menahan air mata. Bagaimana bisa dia melihat dua orang yang di
cintainya kini sedang menangis dengan memilukannya?
“Mama bohong, kata mereka Rinai anak
haram. Rinai nggak punya pa-pa…” Tubuh Rinai melemas, kepalan jemarinya
perlahan terbuka. Lunglai, tubuh Rinai terkulai diatas tempat tidur.
****
Terkadang cerita cerita buruk dan
menyakitkan itu harus dijelaskan meski menyisakan sakit yang mendalam, tak
terkecuali untuk anak kecil yang meski tak sepenuhnya bisa memahami. Tapi esok
lusa kalimat tak terfahami itu akan dengan mudah dimengerti, dan dia sungguh
akan tumbuh jadi wanita tangguh dan kuat, memaknai hidup dengan pemahaman dan
pemikiran yang berbeda.
Rinai mungkin akan terguncang,
mengetahui kenyataan bahwa mamanya bukanlah seperti sosok siti khodijah seperti
cerita pak ustadz, dan bukanlah bidadari cantik yang seperti ia impikan. Ya,
Rinai mungkin akan sangat membenci dan akan sungguh membenci mamanya. Tapi esok
lusa saat ia bisa mencerna semua kalimat penjelasan itu kebekuan hatinya akan
dengan perlahan mencair, dan percaya meski mamanya bukan seperti siti khodijah,
bukan seperti bidadari cantik, tapi mamanya adalah wanita paling berharga yang
begitu mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar