Rabu, 06 April 2016

cerpeen ku


Rinai

Bagaimanakah jika mama bukan seperti bidadari cantik dalam mimpiku?
Bagaimanakah jika mama bukan wanita suci dalam kisah-kisah itu?
Bagaimanakah jika mama bukan siti khodijah itu?
Apakah surga masih berada ditelapak kakinya?

Rinai, gadis mungil nan cantik itu tengah duduk termenung di teras depan rumahnya, sesekali ia melitir ujung rambut kanannya yang terkuncir dua. Kedua matanya melirik ke lengan kirinya, sudah jam 5 sore tapi sejak ia sepulang sekolah tadi mamanya belum juga pulang. Mama lupa, dan itu sudah yang ke tiga kalinya. Rinai kembali melintir ujung rambutnya, mendesah.  Rinai, sebenarnya dia gadis yang periang, suka bercanda dan sedikit usil. Namun, sejak kejadian 1 bulan lalu dia berubah menjadi gadis pendiam, suka menyendiri dan sering menangis diam-diam.
“Allahu akbar allahu akbar…. Allahu akbar allahu akbar…”
Sudah jam setengah 6, adzan dari musholah sudah terdengar. Rinai berdiri, menatap jalan raya, berharap mamanya datang dengan senyum mengembang, mengatakan maaf terlambat karena kerjaan yang tak bisa ditinggalkan, maka dengan mudah Rinai akan memaafkan. Rinai beranjak, mama mungkin akan pulang larut malam sama seperti hari-hari kemarin, pikirnya.
“Rinai….”
Langkah kakinya terhenti, senyumnya mengembang.
“Mama…” Rinai berbalik, hampir berlari ingin menyambut. Namun senyum itu seketika terlepas, berubah. Kecewa.
Ah, bagaimana Rinai bisa tak mengenali suara itu. Suara renta nan serak itu jelas bukan suara mamanya yang sudah pasti merdu nan lembut.
“Ada apa mbok Darmi?” Rinai bertanya sedikit kesal. Cemberut.
“Ini, ada orang yang cari Rinai.” Senyumnya ramah. Melirik kearah sosok laki-laki tinggi putih di sampingnya.
Rinai mengerutkan kening. Siapa? 
“Halo Rinai..” Sapanya sambil melambaikan tangan ramah.
“Om siapa? Teman kerja mama? Rinai kok nggak pernah liat om kesini? Atau om bosnya mama? Ah bukan, bosnya mama kemarin baru aja kesini nganter mama pulang. Om pasti teman kerja mama ya? Mama kan teman kerjanya banyak, baik-baik lagi soalnya mama kan juga orangnya baik. Om…. Siapa?” Rinai berhenti berceloteh. Menatap laki-laki itu dengan seksama. Laki-laki itu tersenyum, mengangguk-angguk.
“Rinai cantik ya? Kelas berapa?” Laki-laki itu jongkok di depan Rinai. Mengusap lembut rambutnya yang terkuncir panjang.
“Om beneran teman mamakan?” Rinai melangkah mundur, menepis tangan laki-laki itu.
Laki-laki itu mengangguk. “ panggil om, om Ardi.” Laki-laki itu merengkuh tubuh Rinai. Erat. Ada suara desahan yang tak di mengerti.

                                                            ****
            1 bulan kemudian…..
            “Rinai benci om Ardi…” Jemarinya mengepal, Rinai terisak. Menangis tersedu memeluk lutut.
            Masih terlalu pagi untuk pertengkaran kecil ini. Dan masih terlalu dini untuk Ardi menjelaskan semua permintaan Rinai. Ardi yang saat itu baru saja selesai mandi bersiap untuk menjemput Raya, mau tak mau dia harus pulang. Ardi sudah tak peduli dengan semua alasannya hingga rela merendahkan dirinya kelubang menjijikkan itu. Gadis mungil itu sudah sering menanyakan keberadaan mamanya. Ya, satu bulan ini Raya tak pulang sejak Rinai menunggunya dengan cemas di depan rumah. Dan pagi ini, Rinai pulang menangis tanpa henti, sepanjang berangkat sekolah semua teman-teman mengejeknya, mengatakan hal-hal buruk tentang mamanya, mengatakan hal-hal mengerikan yang tak dimengertinya.
“Apa itu PSK om? Apa itu pelacur? Dan… dan apa itu wanita panggilan?? Mama jelas bukan wanita murahankan? “ Rinai makin terisak, mendongak menatap Ardi yang ikut duduk di sebelahnya. Menggenggam jemari mungil Rinai.
“Dari siapa kamu dengar kata-kata itu sayang?”
“Kenapa mama nggak pulang-pulang om? Apa pekerjaan mama om…?”  ribuan butiran bening itu saling berdesakan keluar, mengalir membanjiri pipi-pipi putih Rinai.
“Mama bekerja untuk Rinai, untuk masa depan Rinai. Mama bekerja untuk kebahagiaan Rinai.”
“Bohong. Om Ardi bohong kan? Mama orang jahat bukan? Kata mamanya Vino, mama suka ngambil papa orang. Apa mama juga yang bikin mamanya Vino cerai sama papanya Vino?”
Ardi tercengang. Bagaimana bisa gadis kecil ini tau semua kata-kata menyakitkan itu? Bagaimana bisa mereka tega mengatakan hal mengerikan itu? Urusan ini harus segera selesai secepatnya. Ardi mendesah.
“Rinai, dengerin om… ma-“
Kalimat itu terputus. Rinai beranjak dan berlari keluar rumah. Mengusap mata sembabnya dan melepas tas sekolah yang sedari tadi masih cantik bertengger di punggungnya. Ardi bingung, gelagapan. Tubuhnya oleng karena posisi yang tak seimbang, hampir terjatuh saat ingin mengejar Rinai yang kini sudah lari jauh menyeberangi jalan raya.
“Rinai… tunggu…” Ardi berlari sekuat tenaga. Tidak boleh, semua ini tidak boleh terjadi. Gadis mungil itu terlalu dini untuk tau semuanya, terlalu dini untuk mengerti semuanya. Ardi berhenti di pertigaan jalan. Jejak Rinai telah hilang.
Rinai belok ke kiri jalan. Tadi mama Vino dengan mata mendelik menatap Rinai, mencengkeram kedua bahunya, kalimatnya tajam, tak terlalu banyak Rinai mengerti artinya. Rinai terus berlari sambil menatap lalu lalang kendaraan, sesekali bertanya pada orang sekitar, menanyakan alamat yang membuat orang-orang mengerutkan dahi.
“Wanita simpanan. Wanita murahan. Mama kamu perusak rumah tangga orang. Wanita jalang. Kau tau, semua orang disini sudah tau pekerjaan siang malam yang dilakoni mamamu. Raya si wanita panggilan, PSK kelas kakap”
Sudah hampir Rinai menangis,air matanya sudah penuh menutupi matanya, bukan karena ia benar-benar mengerti kalimat panjang itu. tapi yang pasti mamanya adalah orang yang dibenci mama Vino.
“Ti-Tidak, tan-tante bohong.. mama orang baik, mama bukan murahan. Tante jahat.” Terbata. Rinai gemetar, takut menatap tatapan tajam mamanya Vino. Sakit, cengkeraman itu terasa panas menjalari tubuhnya. Rinai menoleh ke gerbang sekolah, semua orang kini tengah menatapnya, pintu gerbang terbuka lebar, kosong, sepi, tak ada yang berniat masuk, apa lagi terburu-buru masuk meski jam besar dinding di atas gerbang telah  menunjukkan pukul 07.55 menit. Semua mata tengah asyik menonton adegan seru tepat di samping gerbang sekolah. Satu mulut berbisik membisikkan ke mulut yang lain, dan mulut yang lain buru-buru membisikkan ke mulut yang lainnya lagi, begitu seterusnya hingga suara bisik bisik itu berubah menjadi suara gumaman yang sungguh menyakitkan telinga Rinai. Gadis kecil 9 tahun itu menangis tersedu, takut-takut menatap semua orang yang tengah sinis menatapnya.
“Jadi cerita kalau Rinai ini anak haram itu benar?” Rinai menoleh, suara mama Fitri teman sebangkunya terdengar lantang. Air mata Rinai menetes, menatap Fitri yang tengah menatapnya sedih, menatap mamanya tak mengerti.
“Dan kamu Rinai, kami semua tak sudi melihat kamu sekolah disini. Ikut saja kamu bersama mamamu yang jalang dan murahan. Anak haram, kau pasti tak taukan siapa papamu? Atau jangan-jangan laki-laki yang kini ada di rumahmu itu simpanan baru mamamu?”
Rinai makin mempercepat langkah kakinya, berlari sekuat tenaga. Bayang-bayang wajah mama-mama teman-temannya yang menatapnya tajam, sinis, marah, meneriakinya, semua itu melayang begitu cepat dipikirannya.
“Tidak, mama Rinai bukan wanita murahan. Mama Rinai wanita baik, mama Rinai mama terbaik sedunia. Mereka semua bohong. Mama Rinai bekerja untuk Rinai, mama Rinai bekerja di gedung-gedung tinggi.”
BRUKK.
Rinai jatuh tersungkur, matanya berkunang-kunang, dan tiba-tiba semuanya gelap.

                                                            ****
Rinai membuka matanya, ada om Ardi yang tersenyum ramah di sebelah kirinya, dan di sebelah kanan ada wanita cantik tengah menangis terisak. Menggenggam jemari Rinai dengan erat. Itu mama.
“Sayang, Rinai udah bangun? Kita ada di rumah sakit, jangan takut sayang…” Mama berdiri, mengusap lembut kening Rinai. Dan seketika dengan lemah Rinai menepisnya.
“Rinai nggak punya mama yang jahat, Rinai nggak punya mama pembohong, Rinai benci mama.” Mata Rinai terpejam, dan butiran bening itu mengalir dari sudut-sudut matanya.
“Sa-“
“Rinai benci…..”
“Ri-“
“PERGI. Rinai tau semuanya ma.. Rinai tau kenapa mama nggak pernah pulang, Rinai tau kenapa setiap hari om-om itu nganter mama pulang, dan Rinai tau kenapa papa Vino cerai. Rinai tau, RINAI TAU…” terbata, tersenggal dia merangkai kalimat-kalimat itu. Rinai menangis, menutup kepalanya dengan bantal. Mama terisak, menjerit,terduduk jatuh lemas di lantai.
“Rinai, jangan dengarkan omongan orang-orang, mereka semua bohong. Mama sayang sama Rinai.” Ardi berbisik, membuka bantal yang menutupi wajah Rinai.
“Om bohong. Rinai benci…” Rinai bangun, menarik paksa jarum infus yang menempel di tangannya.
“Jangan Rinai, kamu masih sakit sayang.. maafkan mama…” Mama mencegah, menghentikan aksi nekat Rinai.
“Rinai benci, Rinai nggak mau punya mama kayak mama. Mama jahat.” Rinai kuat memukul-mukul tubuh sang mama, menepis kedua tangannya yang ingin merangkul. Ardi yang menatap kejadian memilukan itu tak kuasa menahan air mata. Bagaimana bisa dia melihat dua orang yang di cintainya kini sedang menangis dengan memilukannya?
“Mama bohong, kata mereka Rinai anak haram. Rinai nggak punya pa-pa…” Tubuh Rinai melemas, kepalan jemarinya perlahan terbuka. Lunglai, tubuh Rinai terkulai diatas tempat tidur.

                                                            ****
Terkadang cerita cerita buruk dan menyakitkan itu harus dijelaskan meski menyisakan sakit yang mendalam, tak terkecuali untuk anak kecil yang meski tak sepenuhnya bisa memahami. Tapi esok lusa kalimat tak terfahami itu akan dengan mudah dimengerti, dan dia sungguh akan tumbuh jadi wanita tangguh dan kuat, memaknai hidup dengan pemahaman dan pemikiran yang berbeda.
Rinai mungkin akan terguncang, mengetahui kenyataan bahwa mamanya bukanlah seperti sosok siti khodijah seperti cerita pak ustadz, dan bukanlah bidadari cantik yang seperti ia impikan. Ya, Rinai mungkin akan sangat membenci dan akan sungguh membenci mamanya. Tapi esok lusa saat ia bisa mencerna semua kalimat penjelasan itu kebekuan hatinya akan dengan perlahan mencair, dan percaya meski mamanya bukan seperti siti khodijah, bukan seperti bidadari cantik, tapi mamanya adalah wanita paling berharga yang begitu mencintainya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar